PERJANJIAN
HUDAIBIYAH
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Kelompok
Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan
Islam
Dosen
: Sofia Ratna Awaliyah
Fitri, M.Pdi
oleh :
Dede Elih Muplihah
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH
(PGMI)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
(IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
bagi Alloh Swt pencipta dan penguasa seluruh alam. Shlawat dan salam semoga
senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dengan mengucap
Alhamdulillah, akhirnya kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Perjanjian Hudaibiyah”, sebagai tugas kelompok pada mata kuliah
Sejarah Kebudayaan Islam di fakultas Tarbiyah PGMI 3C.
Terselesaikannya
makalah ini, tidak terlepas dari bantuan yang diterima oleh kami sebagai
penyusun. Oleh karenanya, kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak kekurangan karena
keterbatasan ilmu dan wawasan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah
ini bermanfaat khususnya bagi kami sebagai penyusun, umumnya bagi semua yang
membacanya.
Ciamis,
03 Oktober 2012
penulis
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. ..... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... .... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. .... 1
C. Tujuan Makalah ................................................................................. .... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Perjanjian Hudaibiyah........................................................................ 3
B.
Bentrokan-bentrokan Kecil Setelah Terjadinya Perjanjian Hudaibiyah22
C.
Fathul Makkah................................................................................... 27
BAB III PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................... .. 39
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... .. 40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kita yakini
Rasulullah sebagai sebaik-baiknya suri tauladan (uswatun hasanah), dari
berbagai sisi kehidupan beliau. Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga,
beliau adalah seorang suami dan ayah ideal. Sebagai seorang yang dititipi
amanah, maka satu unsur yang membuat beliau digelari al-amin karena amanah itu dijaga dengan sangat baik. Sebagai
penengah perselisihan, maka solusi dari beliau bukan saja mencegah perang
saudara antar Quraisy, tapi juga mencari solusi yang menentramkan mereka semua. Di antaranya
ketika hajar aswad berpindah dari tempatnya, dan semua pihak merasa paling
berhak dalam mengembalikan ke tempat semula.
Begitu pula
sebagai pemimpin, beliau adalah sebaik baiknya pelayan umat, pandai berdiplomasi,
dan dalam situasi khusus, sebagaimana nabi-nabi yang lain seperti Daud Alaihi
Salam, beliau adalah sebaik baiknya pemimpin perang. Allahumma sholi wassalim
wabaarik alaihi.
Satu episode
perjuangan Rasulullah yang terkenal mengagetkan sahabat-sahabat beliau, yaitu
Perjanjian Hudaibiyah. Dari mana hal ini kita pahami? Mari kita selami sekilas
tentang perjanjian Hudaibiyah.
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi
ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan
supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).” [QS. al Fath : 1-3]
Kebanyakan
Mufassirin menyebutkan ayat ini berkaitan dengan Perjanjian Hudaibiyah. Dan
memang ayat ini turun ketika Rombongan Rasulullah kembali ke madinah
dan tidak jadi menunaikan ibadah umrah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah terjadinya
perjanjian Hudaibiyah?
2. Bentrokan-bentrokan kecil apa
saja yang terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah sampai kota Mekkah
aman?
3. Bagaimana sejarah pembebasan Kota
Makkah?
1.3 Tujuan Makalah
1. Mengetahui sejarah terjadinya
perjanjian Hudaibiyah.
2. Mengetahui
pemberontakan-pemberontakan kecil sekitar terjadinya perjanjian Hudaibiyah.
3. Mengetahui bagaimana terjadinya
fathul Makkah.
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
PERJANJIAN
HUDAIBIYAH
1.
Sejarah Perjanjian
Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyyah (صلØ
الØديبية) adalah sebuah
perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H).
Enam tahun lamanya sudah sejak Nabi dan
sahabat-sahabatnya hijrah dari Mekah ke Madinah. Selama
itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada
peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi.
sementara itu Islampun makin
berkembang.
Setelah
terjadinya perang ahzab dan perang khandaq pada tahun ke-5 hijriyah, maka tidak
ada lagi kektakutan dipihak kaum muslimin oleh penindasan Quraisy, karena
setelah berakhirnya perang Khandaq yang dimenangkan oleh kaum Muslimin,
masuklah dua orang pemimpin Quraiy yang gagah berani ke dalam agama Islam.
Yaitu Amr bin Ash Asahmi dan Khalid bin Walid Al Makhzumi. Dan setelah ini,
tidak ada lagi peperangan antara kaum muslimin dan kaum Quraisy.
Pada tahun
keenam hijriyah itu, Nabi Muhammad saw. beserta pengikut-pengikutnya merasa rindu
untuk pergi ke Baitulloh, dan mereka ingin ziarah ke Mekkah mengunjungi sanak
famili dan kampung halaman yang sudah lama mereka tinggalkan. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul di mesjid, tiba-tiba Nabi
memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki,
bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan
kepala dicukur atau digunting tanpa merasa takut.
Begitu mereka mendengar
berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah.
Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Nabi mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji
dalam bulan Zulhijah yang suci.
Dikirimnya utusan-utusan
kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka
supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah dengan aman tanpa ada pertempuran. Nabi
mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada
kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi
ada juga dari kabilah-kabilah di luar Muslimin yang masih menunda-nunda,
seperti Juhainah dan Muzainah.
Pada hari Senin dalam
bulan Zulkaedah tahun ke-6 H sebagai salah satu bulan suci, Nabi berangkat
dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab
yang mau menggabungkan diri. Nabi menunjuk Numailah bin Abdullah al-Laitsi
sebagai imam sementara di Madinah. Nabi dan pengikutnya yang berjumlah kurang
lebih sekitar 1000 orang (ada sumber yang mengatakan 1400 orang) menuju makkah
dengan niat semata-mata melakukan haji dan ‘umrah. Untuk menghilangkan
perasangka yang bukan-bukan dari pihak Quraisy, maka kaum muslimin memakai
pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban sebanyak 70 ekor unta untuk
disembelih di Mina. Mereka tidak memanggul senjata, hanya mambawa
pedang dalam sarungnya sekedar menjaga diri dalam perjalanan. Rombongan pun sampai di Dzu’l-Hulaifa, sebuah desa yang berjarak enam atau
tujuh mil jauhnya dari Madinah. Rombongan
menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah.
Binatang kurban pun
dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda. Tiada
seorang pun dari rombongan haji itu
yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam
perjalanan. Isteri Nabi saw yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Ummu
Salamah.
Berita tentang Muhammad
saw dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji
itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa
hawatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya
hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu
supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula
terlarang tak dapat memasuki Madinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan
mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah
diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa
keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang
Arab. Walaupun demikian, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak
mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus
mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.
Oleh karena itu sebuah
pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang. Pasukan
ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Mekah).
Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.
Sebaliknya rombongan Nabi
meneruskan perjalanannya sampai di ‘Usfan, sebuah desa yang terletak antara
Mekah dan Madinah, sekitar 60 km dari Mekah. Di sana Nabi bertemu dengan Bisyr
bin Sufyan al-Ka’bi dari suku Banu Ka’b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu
mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.
“Mereka sudah mendengar
tentang perjalanan tuan ini,” jawab Bisyr.
“Lalu mereka berangkat
dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah
bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang
pasukan berkuda sudah maju terus ke daerah Kira’l-Ghamim. (Kira’l-Ghamim adalah sebuah tempat di depan ‘Usfan, sekitar
8 mil (± 12 km).
“Celaka Quraisy!” kata
Muhammad.
“Mereka sudah lumpuh
karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saya berhubungan dengan
orang-orang Arab yang lainnya. Kalaupun orang-orang
Arab itu sampai membinasakanku, itulah yang mereka harapkan, dan jika Allah
memberi kemenangan kepadaku, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Jika
mereka tidak masuk Islam, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai
kekuatan. Demi Allah, Quraisy jangan salah. Sesungguhnya aku akan terus
memperjuangkan apa yang diutuskan Allah kepadaku sampai nanti Allah memberikan
kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal.”
Pandangan Nabi sangat
jauh, siasatnya lebih dalam dan lebih matang. Beliau berseru kepada orang
banyak: “Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain yang tidak mereka lalui?”
Kemudian ada seorang
laki-laki dari suku Aslam yang bersedia membawa rombongan Nabi melalui jalan
lain yang berliku-liku antara batu-batu karang yang curam yang sangat sulit
dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Akhirnya mereka sampai
juga ke sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh
melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Tsaniyatul-Mirar, jalan menurun
ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah. Setelah pasukan Quraisy melihat apa
yang dilakukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, merekapun cepat-cepat
memacu kudanya kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan
Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.
Ketika kaum Muslimin
sampai di Hudaibiya. Al-Qashwa’ (unta milik Nabi) berlutut. Kaum Muslimin
menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Nabi berkata: “Tidak. Ia (unta itu)
ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy
dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut.” Kemudian dimintanya
orang-orang itu supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata:
“Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air.”
Mendengar itu Nabi
mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada Najiyah
bin Jundab supaya dibawa turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar
di tempat itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke
dalam pasir pada dasar sumur
ketika itu air
pun memancar. Orang baru merasa puas dan merekapun turun dari kendaraan.
Pihak Quraisy di Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada
membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara kekerasan sekalipun.
Kedua pihak masing-masing
sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Nabi sendiri tetap berpegang
pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk
‘umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran, kecuali
jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya, tak ada jalan lain iapun
harus menghunus pedang.
Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Terpikir
oleh mereka mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka. satu sisi untuk menjajagi kekuatannya dan sisi
lain untuk merintangi jangan sampai Muhammad
dan pasukannya masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemui Nabi ialah Budail bin Warqa’ dari suku Khuza’a. Dia bertanya, apa yang mendorongnya datang. Setelah berbicara panjang lebar dia tahu,
bahwa Muhammad datang bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan
hendak memuliakan Rumah Suci, diapun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga
ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan
saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh dan tidak
diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada mereka: “Kalau kedatangannya
tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara paksa dan kitapun
takkan menjadi bahan pembicaraan orang.”
Kemudian Quraisy mengutus
orang lain dari golongan Ahabisy. Ahabisy adalah perkampungan di pegunungan.
Mereka adalah sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah. Warna kulit mereka
hitam sekali. Maka berangkatlah Hulais bin Alqamah pemimpin Ahabisy menuju ke
perkemahan Muslimin.
Tatkala Nabi melihatnya ia
datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan di depan matanya, supaya
dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas,
bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah
orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci.
Hulais dapat menyaksikan
sendiri adanya ternak kurban yang tujuh puluh ekor itu, beriringan dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat
pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam
hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan
ingin berperang atau mencari permusuhan.
Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya
kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu,
Quraisy naik pitam.
“Duduklah,” kata mereka
kepada Hulais. “Engkau ini Arab badui yang tidak tahu apa-apa.” Mendengar itu
Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa persekutuannya dengan Quraisy itu
bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah,
dan tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang Ahabisy
yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat kemarahannya itu, Quraisy
mencoba membujuknya kembali dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka
pikirkan lebih lanjut.
Kemudian terpikir oleh
Quraisy hendak mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan
kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada ‘Urwa ibn Mas’ud ath-Thaqafi.
Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang keras dan memperlakukan tidak
layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada ‘Urwa.
Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat menaruh
kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang
baik, ia pun berangkat menemui Nabi.
Ketika Urwah bin Mas’ud
tiba di tempat Rasululllah, dia duduk di depan beliau. Dia berkata, “Hai
Muhammad, engkau kumpulkan orang banyak, kemudian membawa mereka kepada
keluargamu untuk membunuh mereka? Orang-orang Quraisy telah keluar bersama
wanita-wanita dan anak-anak mereka dengan memakai kulit-kulit harimau. Mereka
bersumpah tidak akan mengizinkanmu masuk ke tempat mereka untuk selama-lamanya.
Demi Allah, dengan mereka , sepertinya kami lihat pengikut kalian akan
menyingkir darimu besok pagi.”
Abu Bakar ash-Shiddik yang
duduk di belakang Rsululah saw berkata, “Isaplah kelentit Lata. Kami akan
menyingkir dari beliau.”
Urwah bertanya, “Siapa
orang ini, hai Muhammad!”
Beliau menjawab, “Dia anak
Abu Quhafah.”
Urwah berkata, “Demi Alah,
jika aku tidak berhutang budi padanya, pasti aku balas ucapannya dengan ucapan
yang lebih menyakitkan, namun perkataanku ini sudah cukup.”
Kemudian Urwah berusaha
memegang jenggot Rasulullah saw. Al-Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di depan
Rasulullah saw dengan memegang pedang memukul tangan Urwah yang hendak memegang
jenggot Rasuullah saw sambil bekata, “Tahan tanganmu dari wajah Rasulullah saw
sebelum pedang ini mengenaimu.”
Urwah berkata, “Celaka
engkau, betapa kasarnya engkau!”
Rasulullah saw tersenyum.
Urwah bertanya, “Siapa
orang ini, hai Muhammad?”
Beliau menjawab, “Dia anak
saudaramu, yaitu al-Mughirah ibn Syu’bah.”
Urwah berkata, “Engkau
pengkhianat, aku baru saja membersihkan aibmu kemarin.”
Mughirah bin Syu’bah
bertindak terhadap Urwah meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, ‘Urwah
pernah menebuskan tiga belas diat atas beberapa orang dari Bani Malik yang
telah dibunuh oleh Mughirah.
Kemudian ‘Urwah mendapat
keterangan dari Nabi sama seperti yang juga diberikan kepada utusan-utusan
Quraisy sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan
hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan kewajiban kepada Allah.
Sebelum Urwah beranjak
dari tempat Rasulullah saw ia melihat apa yang diperbuat para sahabat terhadap
beliau. Jika beliau mengambil wudhu, maka sahabat-sahabatnya memperebutkan
bekas air wudhu beliau. Jika beliau meludah maka mereka memperebutkannya, dan
jika mereka melihat ada rambut beliau yang jatuh, cepat-cepat pula mereka
mengambilnya.
Setelah Urwah berada
kembali di tengah-tengah Quraisy ia berkata, “Saudara-saudara, saya sudah
pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka
masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya
seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Sungguh aku lihat kaum yang
tidak akan menyerahkannya bagaimanapun juga. Oleh karena itu, pikirkanlah
kembali baik-baik.”
Kemudian Rasulullah saw
mengutus Khirasy bin Umaiyyah al-Khuzai untuk menemui orang-orang Quraisy. Akan
tetapi unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka
bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu dilepaskan.
Kemudian sejumlah orang
Quraisy malam-malam keluar dan melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka
ini sampai empatpuluh atau limapuluh orang, dengan maksud hendak menyerang
sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada
Nabi. Tetapi oleh Nabi, mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai
suatu tanda bahwa Nabi ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan
suci, jangan ada pertumpahan darah di Hudaibiyah, yang juga termasuk daerah
suci Mekah.
Mengetahui hal ini pihak
Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad
bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa
semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh pihak Arab
hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah
Muhammad mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.
Kemudian Nabi saw sekali
lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang
utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar bin’l-Khattab
dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada
pemuka-pemuka Quraisy.
“Rasulullah,” kata Umar.
“Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah
tidak ada pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah
cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap
mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada
saya yaitu Usman bin ‘Affan.”
Nabi pun segera memanggil
Usman bin ‘Affan dan diutusnya
kepada Abu Sufyan bin Harb dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Ketika memasuki
Mekah, Utsman bertemu Aban bin Sa’id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas
membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Utsman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan
pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya: “Utsman, kalau engkau mau bertawaf di
Ka’bah, bertawaflah.”
“Saya tidak akan melakukan
ini sebelum Rasulullah bertawaf,” jawab Usman. “Kedatangan kami kemari hanya
akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan
kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa hewan qurban, setelah
disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman.”
Quraisy menjawab, bahwa
mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan
kekerasan.
Pembicaraan antara ‘Utsman bin ‘affan sebagai utusan Rasulullah saw dengan
orang-orang kafir Quraisy menjadi lama, dan lama pula Utsman menghilang dari
Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy
telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat.
Pihak Muslimin di
Hudaibiya sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh mereka
kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua
agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di
sekitar Ka’bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka
kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa
pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu
meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda
mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Nabi saw, sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman
dalam bulan suci itu. Lalu Rasulullah saw mengatakan: “Kita tidak akan pulang sebelum kita mengalahkan mereka.”
Kemudian, Rasulullah saw memanggil sahabat-sahabatnya sambil beliau berdiri di bawah
sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berbaiat (berjanji setia) kepada
Rasulullah untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua
berikrar kepada Rasulullah dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras.
Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap
pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepada Rasulullah
(yang kemudian dikenal dengan nama) Bai’at ar-Ridhwan.
Selesai Muslimin
mengadakan ikrar itu Nabi ‘a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah
lagi sebagai tanda ikrar buat Utsman seolah ia juga turut hadir dalam Bai’at
ar-Ridhwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam
sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu
pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur
sebagai syahid dengan rela hati.
Sementara mereka dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba tersiar
pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula
dengan kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun
begitu ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar ‘Aqaba
Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali
menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia
dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa besar keberanian mereka
itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa
berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan
memperoleh kemenangan.
Perundingan antara kedua
belah pihak dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail bin ‘Amr dengan pesan: “Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia.
Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada
kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan
kekerasan.”
Sesampainya Suhail ke
tempat Rasulullah, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang
lebar segera dibicarakan. Pihak Muslimin di
sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.
Ada beberapa orang dari
mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam
beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran.
Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak
karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak
akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke
Mekah atau sebaliknya.
Sampai pada akhir
perundingan itu Umar bin’l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan berkata
kepadanya: “Abu Bakr, bukankah beliau utusan Allah?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Bukankah kita ini
Muslimin?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Kenapa kita mau
direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr: “Umar, duduklah
di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia utusan Allah.”
Setelah itu Umar menemui
Rasulullah saw. Diulangnya pembicaraan itu kepada Rasulullah dengan perasaan
geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati
Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu
ialah: “Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia
tidak akan menelantarkanku.”
Kesabaran Rasulullah saw
terlihat pula ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat
beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Rasulullah saw memanggil Ali b. Abi
Talib dan bersabda: “Tulislah: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah,
Pengasih dan Penyayang).”
“Stop!” kata Suhail. “Nama
Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas
namaMu ya Allah).”
Kata Rasulullah pula:
“Tulislah: Atas namaMu ya Allah.” Lalu sambungnya lagi: “Tulislah: Inilah yang
sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin ‘Amr.”
“Stop,” sela Suhail lagi.
“Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu.
Tapi tulislah namamu dan nama bapakmu.”
Lalu kata Rasulullah pula:
“Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdillah dengan Suhail bin Amr. Kedua belah
pihak tidak akan mengadakan gencatan
senjata selama sepuluh tahun. Barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang
kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan
barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan
dikembalikan. Barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan
persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang
mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan. Untuk tahun ini
Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan
ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan
tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya
pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.”
Perjanjian pun ditandatangani.
Pihak Khuza’a segera bersekutu dengan Rasulullah saw dan Banu Bakr bersekutu
dengan Quraisy. Begitu perjanjian ini ditandatangani tiba-tiba Abu Jandal putra
Suhail bin ‘Amr datang dan terus
hendak menggabungkan diri dengan Muslimin, dan akan pergi bersama-sama pula.
Melihat anaknya berbuat demikian, Suhail memukul wajah Abu Jandal dan mencengkeram leher bajunya kemudian menyeretnya ke orang-orang
Quraisy. Abu Jandal pun berteriak sekuat-kuatnya: “Saudara-saudara Muslimin.
Apakah aku akan dibiarkan dikembalikan kepada orang-orang musyrik
kemudian mereka menyiksaku karena agamaku?!” Kejadian itu membuat kaum Muslimin
makin sedih dan gelisah, makin tidak senang mereka pada hasil perjanjian yang
diadakan antara Rasulullah dengan Suhail. Tetapi Rasulullah lalu mengarahkan
kata-katanya kepada Abu Jandal:
“Abu Jandal, tabahkan
hatimu. Semoga Allah memberikan jalan keluar buat engkau dan orang-orang Islam
yang ditindas sepertimu. Kita sudah menandatangani persetujuan dengan kaum
tersebut, dan ini sudah kita berikan kepada mereka dan merekapun sudah pula
memberikan kepada kita dengan nama Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka.”
Sekarang Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai dengan isi persetujuan dan
janji Nabi. Suhail lalu pulang ke Mekah.
Setelah urusan perjanjian selesai,
. Beliau gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya yang masih
merasa berat dan tidak ada satupun yang melakukan rangkaian umra. Kemudian
Beliau shalat, dan keadaannya mulai tenang kembali. Beliau berdiri, hewan
qurbannya mulai disembelih. Beliau duduk kembali, rambut kepalanya dicukur
sebagai tanda umrah sudah dimulai. Beliau memerintakan kepada para
sahabat-sahabatnya untuk bertahallul dan menyembeli hewan qurban sebagai
ranglaian dari umrah. Hati Beliau sudah merasa
tenang, merasa tenteram. Melihat Nabi melakukan itu, dan melihat ketenangannya
pula, merekapun bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur rambut kepala,
sebagian ada yang bercukur dan ada juga yang hanya memendekkan rambut: “Semoga
Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambutnya,” kata
Rasulullah. Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya: “Dan mereka yang
memendekkan rambut, ya Rasulallah ?”
“Semoga Allah melimpahkan
rahmat kepada mereka yang mencukur rambutnya,” kata beliau lagi. Orang-orang
masih gelisah sambil bertanya: “Dan mereka yang memendekkan rambutnya, ya
Rasulallah?”
“Semoga Allah juga
merahmati mereka yang memendekkan rambutnya,” kata beliau lagi. “Rasulullah,”
kata setengah mereka lagi, “Kenapa doa buat yang bercukur saja yang
diulang-ulang, dan tidak untuk yang memendekkannya?”
Rasulullah saw bersabda,
“”Karena mereka sudah tidak ragu-ragu.”
Mereka tinggal di
Hudaibiya selama beberapa hari lagi. Ada mereka yang bertanya-tanya tentang
hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi itu, ada pula yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah
demikian itu. Akhirnya mereka berangkat pulang. Di tengah perjalanan antara
Mekah dengan Medinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi berupa Surah al-Fath.
Firman Allah itupun oleh Nabi kemudian dibacakannya kepada sahabat-sahabat:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata;
supaya Allah mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, serta
akan menyempurnakan karuniaNya kepadamu serta membimbingmu ke jalan yang
lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 1-2) Dan seterusnya sampai
pada akhir Surah.
Setelah beberapa hari,
Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith berhijrah dari Makkah ke Madinah. Dua saudaranya
yaitu Amarah dan Alwalid menyusul dan meminta Rasululloh agar mengembalikan
Ummu Kultsum sesuai dengan perjanjian. Tetapi Rasululloh menolaknya, karena
perjanjian tersebut hanya berlaku bagi laki-laki dan bukan untuk perempuan,
karena dalam perjanjiannya pun tidak dicantumkan untuk perempuan. Lalu turunlah
wahyu:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila dating berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka” (QS. Al-Mumtahanah:
10).
Sesampainya kaum Muslimin di Madinah,
datanglah seseorang dari kaum Quraisy yang bernama Abu Bashir yang melarikan
diri dari Makkah. Kemudian, datang pula dari Quraisy yang meminta agar agar Abu
Basyir dikembalikan. Rasululloh pun memerintahkan agar Abu Basyir untuk pulang
ke Mekkah sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah. Walaupun dengan perasaan enggan,
akhirnya Abu Basyir pulang bersama dua orang yang menyusulnya. Ketika tiba
disuatu tempat yang bernama Dzul Hulaifah, Abu Basyir membunuh salahseorang
dari Quraisy yang bersamanya. Salahseorang lagi melarikan diri ke Madinah dan
mengadukan hal tersebut kepada Rasululloh. Kemudian Abu Basyir menetap disebuah
tempat yang bernama Al-Ish, yaitu jalur pantai yang selalu dilalui Quraisy ke
Syam. Mendengar hal tersebut,
orang-orang muslim yang masih bertahan bertahan di makkah akhirnya hijrah ke
Al-Ish dan menggabungkan diri dengan Abu Basyir yang membentuk kelompok sekitar
70 orang. Mereka selalu menghadang kaum kafir Quraisy yang lewat ke tempat
tersebut. Mereka merampas harta dan membunuh kafir Quraisy yang laki-laki. Akhirnya
kaum Quraisy meminta Rasululloh agar bersedia menerima dan menarik mereka ke
Madinah. Rasululloh pun menarik mereka ke madinah.
Setahun setelah perjanjian
ditandatangani dan disepakati, Nabi dan para sahabat dapat memasuki kota Mekah untuk beribadah haji
di Ka’bah. Kaum musyrik
Quraisy membiarkan mereka tinggal di Mekah selama tiga hari. Kesempatan ini
digunakan oleh Nabi dan kaum muslim untuk menunaikan umrah, yang disebut ‘Umrah al-Qada’, pengganti umrah yang tidak
terlaksana pada tahun sebelumnya karena dilarang kaum musyrik Quraisy.
Tidak diragukan lagi bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah
suatu kemenangan yang nyata. Sejarah pun mencatat bahwa isi perjanjian ini
adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar
sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab
itu semua. Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan
sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama
tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya
kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Musliminpun berhak
berziarah ke Ka’bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji; suatu
pengakuan pula dari mereka, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai
salah satu agama di jazirah itu. Selanjutnya tidak adanya gencatan senjata selama sepuluh tahun, membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari
jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti
membuka kesempatan bagi Negara Islam Madinah untuk berkonsentrasi menyebarkan
dakwah Islam ke arah utara Jazirah Arab, yakni ke Khaibar, sebuah komunitas
Yahudi yang selama ini selalu mengancam keberadaan Negara Islam di Madinah.
2.
Isi Dari
Perjanjian Hudaibiyah
Berikut adalah isi dari perjanjian Hudaibiyah
antara Rasululloh dengan Kafir Quraisy yang diwakili oleh Suhail:
1.
Bismikallâhumma.
2.
Ini
adalah perjanjian damai antara Muhammad bin 'Abdullah dan Suhail bin 'Amr
3.
Keduanya
telah bersepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun.
Masing-masing pihak memberikan keamanan selama jangka waktu tersebut dan
menahan diri dari pihak lain.
4.
Siapa saja mengunjungi Makkah dari
sahabat-sahabatnya Muhammad, baik untuk berhaji ataupun umrah, atau ingin
mendapatkan karunia Allah, maka harta dan darahnya aman. Siapa saja yang datang
ke Madinah dari orang-orang Quraisy, sebagai persinggahan menuju ke Mesir atau
Syam, untuk mendapatkan karunia Allah, maka harta dan darahnya aman.
5.
Siapa
saja yang mendatangi Muhammad saw. dari orang-orang Quraisy tanpa izin
keluarganya, maka ia harus dikembalikan kepada keluarganya. Barangsiapa
mendatangi orang-orang Quraisy dari pengikutnya Muhammad, maka ia tidak
dikembalikan kepadanya.
6.
Kita
harus komitmen dengan isi perjanjian damai, tidak ada pencurian rahasia dan
pengkhianatan.
7.
Siapa
saja yang ingin masuk ke dalam Perjanjian Muhammad, dan membuat perjanjian
dengannya, maka ia masuk ke dalamnya. Siapa saja yang ingin masuk ke dalam
Perjanjian Quraisy, dan membuat perjanjian dengan mereka, maka ia masuk ke
dalamnya. (Bani Khuza'ah berdiri dan berkata: Kami masuk ke dalam Perjanjian
Muhammad. Bani Bakr juga berdiri dan berkata: Kami masuk ke dalam Perjanjian
Quraisy).
8.
Engkau
(Muhammad) harus kembali dan engkau tidak boleh memasuki Makkah tahun ini.
Tahun depan, engkau bisa memasuki Makkah bersama sahabat-sahabatmu, dan
bermukim selama tiga hari, dengan pedang yang berada di dalam sarungnya, dan
engkau tidak boleh membawa senjata lain. (Hewan kurban yang telah kami dapatkan
dan temukan di tempatnya, maka janganlah engkau minta lagi dari kami).
3.
Hikmah
Dari Perjanjian Hudaibiyah
Dengan
adanya perjanjian Hudaibiyah, ternyata mendatangkan hikmah yang begitu besar
bagi kaum Muslimin, diantaranya adalah:
1.
Bebas dalam menunaikan agama Islam.
2.
Tidak ada teror dari Quraisy.
4.
Sebagai dasar yang kokoh dalam politik penyebaran Islam.
5.
Nabi mempunyai kesempatan yang lebih leluasa dalam
mengkonsolidasikan masyarakat Islam.
6.
Nabi mempunyai waktu yang leluasa untuk lebih memfokuskan perhatian
pada penyebaran Islam kepada kabilah-kabilah Arab lainnya.
7.
Mengajak kepada raja-raja dan kaisar-kaisar untuk memeluk Islam dengan
cara mengirimkan surat-surat kepada penguasa-penguasa tersebut, seperti kepada
Kisra sebagai raja Persia dengan utusan Abdulloh bin Khudzafah, kepada
Heraclius penguasa Romawi dengan utusan Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, kepada
Mauquqis raja Mesir dengan utusan Khatab bin Abi Balti’a, kepada Najasyi raja
habsyah dengan utusan Amr bin Umayyah Add-Dhamri, kepada Al-Harits Al-Ghassani
di Syam, dan raja Amman pemilik Yamamah, serta Al-Mundzir sebagai hakim Bahrain.
Seluruhnya surat Nabi berjumlah 105 buah surat.
Sebagai pengetahuan, berikut kami cantumkan surat dari Rasululloh
kepada Kisra Persia dan kepada Kaisar Romawi:
1. Surat untuk Kisra Persia.
Diriwayatkan dari Ibnu
Jarir r.a. dari jalan ibnu Ishaq r.a., sebagaimana tersebut dalam kitab
Al-Bidayah (4/269), dari Zaid Abi Habib,
dia berkata, Rosulullah saw mengutus Abdullah bin Huzaifah r.a. untuk
menyampaikan surat kepada Kisra bin Hurmuz, Raja Persia. Isi surat itu berbunyi
Bismilaahirrahmaanirrahiim
Dari Muhammad Rosulullah, kepada
Kisra pembesar Persia
Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan yang beriman kepada
Allah dan Rosulnya, serta yang mau bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwasanya Muhammad
adalah hamba dan utusanNya. Aku mengajakmu sebagaimana
yang diserukan Allah, karena sesungguhnya aku
diutus oleh Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada setiap
orang yang hidup dan untuk menjadi
hujjah atas perkataan orang-orang kafir. Jika engkau memeluk Islam
maka engkau akan selamat, tetapi jika engkau menolak, maka sesungguhnya dosa-dosa orang Majusi akan dibebankan kepadamu.
2.
Surat
untuk Kaisar Romawi
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi.
Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya
kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat.
Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya
kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan tidak
(pula)sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa
kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
B.
BENTROKAN-BENTROKAN KECIL
1.
Perang Khaibar
Setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, maka Nabi memiliki waktu
yang leluasa dan lebih terfokus pada penyebaran Islam selain kepada Suku
Quraisy . hal yang segera dilakukan adalah menaklukan Bani Nadhir dari kalangan
Yahudi. Ketika Bani Nadhir di usir oleh Rasululloh dari Madinah setelah perang
Khandaq, mereka menduduki Khaibar, daerah Hijaz
150 KM dari Madinah. Mereka adalah yahudi yang sangat menentang Islam.
Bani Nadhir membujuk Bani Ghatafan untuk bersekutu dengan mereka menyerang kaum
muslimin d Madinah. Mereaka menawarkan separuh dari hasil tanaman mereka.
Mendengar hal tersebut, Rasulluloh lalu menyiapka pasukan dan beliau sendiri
yang memimpin langsung menuju jantung kota Khaibar di oasis Khaibar. Ini adalah
benteng pertahanan utama Yahudi. Maka Muhammad menyerbu ke jantung pertahanan musuh. Suatu
pekerjaan yang tidak mudah dilakukan. Pasukan Rom yang lebih kuat pun tidak
mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem pertahanan
berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam mengorganisasikan prajurit
Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda mereka tempatkan di benteng Watih
dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na'im. Pasukan perang
ditumpukan di benteng Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke
garis depan.
Sallam tewas dalam pertempuran itu, tetapi pertahanan
Khaibar belum dapat ditembus. Muhammad menugaskan Abu Bakar untuk menjadi
komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar. Akhirnya kepemimpinan
komando diserahkan pada Ali. Di Khaibar inilah nama Ali menjulang.
Keberhasilannya meruntuhkan pintu benteng untuk menjadi perisai selalu
dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menembusi
pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab-komandan Yahudi setelah Sallam-pun
tewas. Benteng Na'im jatuh ke tangan pasukan Islam.
Setelah itu benteng demi benteng dikuasai.
Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh. Demikian
juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi bertahan di
benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air menuju benteng yang
memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat perlindungannya dan bertempur
langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa kecuali jatuh ke tangan pasukan
Islam. Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam.
Muhammad memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan
seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi' yang terbukti berbohong saat
dimintai keterangan Rasulullah.
Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan
oleh Rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Nasrani
terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Nasrani dari kekaisaran Rum
akan menghancurluluhkan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum
Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang
mengikuti garis kepemimpinan Muhammad dalam politik.
Muhammad sempat tinggal beberapa lama di
Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa Zainab
binti Harith menaruh dendam pada Muhammad. Sallam, suaminya, tewas dalam
pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk Muhammad.
Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, namun segera memuntahkannya
setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya dengan sahabat Rasul,
Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging tersebut.
Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah
telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin
terwujud. Dengan demikian, Muhammad dapat lebih menumpukan kepada dakwah
membangun moralitas masyarakat. Karena perang ini terjadi di daerah Khaibar,
maka perang ini dinamakan perang Khaibar yang terjadi patah tahun ke 7 H.
2. Penaklukan Fadak
Setelah Rasululloh berhasil menaklukan Yahudi
Khaibar, Alloh swt memasukkan rasa takut ke hati orang-orang fadak. Oleh karena
itu, mereka mengirimkan utusan kepada Rasululloh untuk berdamai dengan
ketentuan berbagi dua teradap aset Fadak. Rasululloh pun menerima perdamaian
tersebut. Fadak murni menjadi bagian dari Rasululloh agar tidak diserang
seperti Yahudi Khaibar.
3. Penaklukan Taima
Setelah kaum Yahudi Taima mendengar perjanjian
damai kaum Yahudi Fadak dengan kaum Muslimin Madinah, mereka pun bersedia berdamai
dengan ketentuan membayar jizyah dan merekapun dalam keadaan aman.
4. Penaklukan Wadi Al-Qura
Rasululloh mengajak penduduk Wadi Al-Qura
untuk memeluk Islam. Namun, mereka menolaknya. Akhirnya Rasulullo menyerang
mereka dan berhasil membunuh 11 orang Yahudi Wadi Al-Qura. Setelah penaklukkan
selesai, kaum Muslimin membiarkan membiarkan kaum Yahudi Al-Qura untuk mengolah
ladang-ladang mereka dan mereka tetap dalam keadaan aman dengan imbalan separuh
dari hasil panen.
5. Pengiriman beberapa sariyyah (pasukan kecil).
Ø Sariyah Ghalib bin Abdulloh Al-Laitsy kepada Bani Mulawwah pada bulan
Rabi’ul Awwal. Mereka memerangi orang-orang yang menolak berdamai. Lalu
turunlah hujan yang menyelesaikan peperangan tersebut dengan kemenangan dipihak
muslim.
Ø Umar bin Khattab r.a. yang diutus ke Suku Hawazin pada bulan Sya’ban dengan
kekuatan 30 personel. Suku Hawazin melarikan diri dan akhirnya Umar pun pulang
kembali.
Ø Basyir bin Sa’ad Al-Anshari beserta beberapa orang pada bulan Sya’ban yang
diutus untuk menaklukan Bani Murrah karena mereka berusaha untuk menyerang kaum
Muslimin. Namun Bani Murrah tidak ada di rumah-rumah mereka. Namun, ketika
basyir hendak pulang, Bani Murrah mengadang mereka dan membunuh orang-orang
yang ikut bersama Basyir. Akibat penyerangan tersebut, Basyirpun terluka dan
kembali kepada Rasululloh saw.
Ø Ghalib bin Abdulloh Al-Laitsy diutus pada bulan Ramadhan bersama 130
personel ke lembah yang bernama Al-Muifah untuk menyerbu bani ‘Iwal dan bani
Abdi bin Tsa’labah (Haraqat). Kaum Muslimin berhasil membunuh sebagian dari
mereka dan menangkap sebagian yang lain. Saat itu, Usamah bin Zaid menggiring
seorang lelaki bernama Nuhaik bin Mirdas untuk dibunuh setelah sebelumnya
Nuhaik bin Mirdas mengucapkan syahadat. Namun Usamah bin Zaid mengira bahwa
syahadat yang diucapkan oleh Nuhaik hanya untuk melindungi dirinya. Rasulullo
pun menegurnya dan memerintahkan Usamah bin Zaid untuk membebaskan seorang
budak sebagai kifarat atas pembunuhan tersebut.
Ø Rasululloh mengutus Basyir bin Sa’ad Al-Anshari bersama 300 personel ke
suatu tempat di dekat Khaibar, karena Rasululloh mendengar bahwa Uyainah bin
Hasin telah menyiapkan sekumpulan orang dari Kabilah Ghathafan untuk menyerang
kaum Muslimin di dekat Khaibar. Kaum muslimin berhasil mendapatkan harta
rampasan yang banyak dan berhasil mengislamkan dua orang dari mereka. Rombongan pun kembali ke
Madinah.
6. Perang Mut’ah
Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Ula di
daerah dekat Baitul Maqdis yang terletak di perbatasan Syam. setelah adanya
perjanjian Hudaibiyah, Nabi mulai menyampaikan dakwahnya kepada kepada raja-raja sekitar jazirah Arab. Salahsatunya kepada Kaisar Romawi yaitu Heraclius. Nabi mengirimkan
utusan kepada Heraclius dengan membawa surat dari Nabi yang berisi ajakan untuk
memeluk Islam. Utusan ini diterima baik oleh Heraclius, tetapi dia enggan memeluk Islam.
Utusan lain bernama Al-Haris bin Umair Al-Azdary dikirim kepada amir Ghassan, pangeran dibawah
Heraclius yang bertempat tinggal di Busra dekat Damaskus. Tetapi utusan ini di
tolak secara kasar dan di bunuh oleh
suku Ghassan yang lain yang bernama
Surahbil bin Amr Al-Ghassani. Ia mengikat Al-Haris dan memenggal kepalanya. Perbuatan yang melanggar hukum internasional
ini menyebabkan timbulnya konflik antara umat Islam dengan Romawi. Akhirnya
Nabi Muhammad mengirim satu pasukan yang berjumlah 3000 orang yang dipimpin
oleh Zaid bin Haritsah. Kemudian tentara Romawi yang berad di syiria segera
menyongsong mereka dan menyiapkan pasukan sebanyak 100.000 orang. Keduanya
bertemu di daerah yang bernama Mut’ah. Akhirnya perangan ini dinamakan perang
Mut’ah yang terjadi pada tahun ke 8 H.Yang menarik
dari perang ini adalah pasukan sejumlah 3000 orang melawan 100.000 orang tentara Romawi. Tidak ada sejarahnya Pasukan romawi
bisa dikalahkan atau dipukul mundur. Sekalipun pada dasarnya tidak tuntas
dikalahkan, tapi dipukul mundur. Sepulang dari Mu’tah, kabar menggemparkan ini
sampai ke seantero jazirah Arab. Hal ini berpengaruh besar terhadap reputasi
kaum Muslimin. Tidak sedikit kabilah dan penguasa yang berbondong masuk Islam
karena menyimpulkan : “Tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan rumawi, kecuali
memang dibantu Allah. Dan tidak mungkin dibantu Allah kecuali Muhammad memang
hamba dan utusannya”. Ada juga Kabilah-kabilah yang membuat perjanjian dan
menjadi sekutu Umat Islam sekalipun mereka tetap dalam agamanya.Tahun itu juga
seperti yang telah disebutkan tadi diatas.
7.
Setelah perang Mut’ah selesai, Rasululloh mengutus Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah bersama 300 pasukan berkuda untuk menyerang Kabilah
Juhainah di tepi laut yang berusaha menyerang kaum Muslimin. Pasukan Muslim berkemah di tepi laut untuk menunggu musuh selama
setengah bulan. Tetapi, musuh tidak juga datang, akhirnya mereka kembali dengan
selamat.
C.
FATHUL MAKKAH
1.
Sejarah terjadinya Fathul Makkah
Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah
bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah
(penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah.
Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan
dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah.
Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang
kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan
kepasrahan kepada Allah ta’ala.
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan
orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah
pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja
diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir
Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir
Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua
suku ini dan saling bermusuhan.
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan
gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini
melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan
mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air
mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan
senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku
Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di
Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang
kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir
Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian.
Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak
memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu
‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia
menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan
pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk
kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit
bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali
memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang
bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah?
Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang.
Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata, “Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab, “Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku
tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu
Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata, “Wahaimanusia, aku telah diberi
perlindungan oleh orang-orang!”. Lalu dia naik untanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang.
Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya
Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba
di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum
muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir.
Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak
boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berkhianat.”
(Qs. Al Anfal: 58)
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan
pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul
Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa
beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat
Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang
Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak.
Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan
langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat
mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus
Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung
meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya
tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak
mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak
bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah
tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun
menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut
kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam
surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah
pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang
yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah
agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa
bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku
yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki
kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang
bisa melindungi kerabatku di sana.”Dengan serta merta Umar bin Al Khattab
menawarkan diri,“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia
telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan
bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.” Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.” Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan
rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga
mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap
orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian,
perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk
loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu
‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin
Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya
orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman
bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini
tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut
orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai
orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka
belum kafir.
2.
Pasukan
Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian,
beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau
memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di
Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama
keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu
tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan
Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara
orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
menerima taubat mereka dan masuk Islam.Rasululloh saw bersabda tentang Ibnul
Harits r.a “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah r.a.”
Setelah
beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah,
beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga
mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam
itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan
keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau
mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak
terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan
dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang
besar tersebut.
“Ada apa
dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan. “Itu Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah
orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan
memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat
membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu
meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka,
Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun
melihat Abu Sufyan. Dia berkata, “Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji
bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir,
Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun
langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.Setelah
itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan.
Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas
pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah
shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas!
Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok
harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu
untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain
Allah?”
Abu
Sufyan mengatakan, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku
sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak
membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini. ”Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui
bahwa aku adalah utusan Allah?”. Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku
sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada
sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas
menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah,
Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”. Akhirnya Abu
Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal
17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan
Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di
sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa
melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati
beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing
kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu
bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas,
Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.” Setelah
agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia
lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”. Abbas
menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.” Abu Sufyan
bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.” Abbas
berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera
Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati
tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Ketika bertemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Ketika bertemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian,
Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’ad diambil
dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di
tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan
ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah
shallallahu
‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa.
Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh
pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam
semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di
sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan
Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin
pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan
memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan
bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau
datang.
Kemudian,
Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan
kepala sambil membaca firman Allah: “Sesungguhnya kami memberikan kepadamu
kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau
mengumumkan kepada penduduk Makkah, “Siapa yang masuk masjid maka dia aman,
siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan
menutup pintunya maka dia aman.” Akan tetapi Rasululloh mengecualikan beberapa
orang yang halal darahnya, yaitu: Abdulloh bin Sa’ad bin Abi Sarah yang telah
masuk Islam, tetapi murtad dan memberitakan sesuatu yang tidak benar tentang
Rasululloh, Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Hubar bin Aswad,
Al-Haris bin Hisyam, Zuhair bin Umayyah, Ka’ab bin Zuhair, Wahsyi, yang
membunuh paman Nabi yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, Hindun binti Utbah, istri
Abu Sufyan. Orang-orang ini melarikan diri ke berbagai daerah. Tetapi setelah
beberapa waktu, meka ada yang menyatakan masuk Islam dan ada pula yang meminta
maaf kepada Rasul dan menyerahkan diri mereka. Akhirnya Rasululloh memaafkan
mereka walaupun mereka tetap dalam agamanya.
Beliau
terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang
unta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menghancurkan
berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau
membaca firman Allah:
“Yang benar telah datang dan yang batil telah
lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs.
Al-Isra’: 81)
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu
tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs.
Saba’: 49)
Kemudian,
Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim
bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan. Beliau bersabda, “Semoga
Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi
dengan anak panah ini.”
Kemudian,
beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah dan
mengeluarkan semua sesembahan Jahiliayah dari baitulloh. Kemudian, beliau
shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan
bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy
berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu
‘alahi wa sallam.
Dengan
memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda “Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah
menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang.
Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan
tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Merekapun
menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang
mulia.”
Beliau
bersabda, “Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada
saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni
kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Kemudian,
orang-orang Quraisy membai’at rasululloh dan mereka akan mengikuti Islam. Saat
itu juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Quhafah menyatakan diri masuk Islam.
Hal ini merupakan salahsatu yang dapat membahagiakan Rasululloh.
Pada
hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon
di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan
RasulNya shallallahu
‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya
mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah
telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang
hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Sejak saat itulah, Makkah menjadi
negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Setelah
itu, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan atas perintah
Rasululloh. Rasul juga memerintahkan Khalid bin Walid bersama 30 pasukan
berkuda untuk menhancurkan berhala Uzza. Amr bin Ash bersama beberapa orang
diperintahkan untuk menghancurkan berhala Mannat. Dan pada tahun ke-9 hijriyah,
Rasululloh memerintahkan Ali bin Abi Thalib bersama 50 pasukan berkuda untuk
menghancurkan berhala Latta.
3.
Faktor
Penyebab Keberhasilan Fathul Makkah
Adapun
Faktor-faktor yang membuat kaum muslimin berhasil menakhlukkan kota Makkah
adalah :
1.
Hilangnya
pengaruh Yahudi. Hal ini disebabkan suku-suku Yahudi, Bani Qainuqa, Bani Nadir
dan Bani Quraizah dihukum oleh Nabi Muhammad SAW. karena membelot. Sebelumnya,
mereka adalah pembantu utama kaum Quraisy.
2.
Kaum
Muslimin makin berpengaruh dalam segala seni kehidupan bangsa Arab.
3.
Tidak
ada lagi suku lain yang bersedia membantu kaum Quraisy dalam menghadapi kaum
muslimin.
4.
Kondisi
kaum Quraisy semakin melemah setelah pemuka-pemuka mereka masuk Islam. Seperti
Khalid bin Walid dan Amru bin As.
Demikianlah
kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan
Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar
yang Allah berikan.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah
mengkaji bagaimana sejarah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, kemudian
terjadinya bentrokan-bentrokan kecil setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah,
sampai kemenangan kota Makkah (Fathul Makkah) seperti yang telah kami paparkan
diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Perjanjian
Hudaibiyah adalah sebuah perjanjian damai antara Rasululloh dari kaum Muslimin
dengan Suhail sebagai wakil dari kaum Kafir Quraisy. Perjanjian ini berjumlah
sepuluh poin, salahsatunya adalah bahwa keduanya akan berdamai selama 10 tahun
dan tidak saling menumpahkan darah. Akan tetapi Quraisy mengkhianati perjanjian
ini dengan memabantu Bani Bakr menyerang bani Khuza’ah.
2.
Setelah
terjadinya perjanjian Hudaibiyah, terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara kaum
Muslimin dengan suku-suku disekitar daerah jazirah Arab seperti penduduk Wadi
Al-Qura, bani Mulawwah, Suku hawazin, Bani Murrah, Bani Iwal, Bani Abdi bin
Tsa’labah, dan kabilah Ghathafan, yang tidak mau berdamai ataupun menerima
dakwah Rasululloh dan mereka berusaha menyerang kaum Muslimin. Selain itu juga,
terjadi perang Khaibar antara kaum Muslimin dengan penduduk yahudi yang
mendiami daerah Kahibar dan perang Mut’ah antara kaum Muslimin melawan tentara
Romawi.
3.
Dikarnakan
Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah, maka Rasululloh menaklukkan kota
Makkah yang disebut dengan Fathul Makkah atau kemenangan kota Makkah tanpa
perlawanan sedikitpun dari kafir Quraisy Makkah yang terjadi pada tanggal 20
Ramadhan tahun ke-8 hijriyah.
Alloh
tidak akan pernah menyalahi janjinya untuk menolong orang-orang yang beriman
dan memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin. Sekian kesimpulan dari
pemaparan yang ada dalam makalah kami ini, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Fauzi. 2008. Muhammad saw Makhluk
Paling Mulia. Yogyakarta: Citra Risalah.
Ling, Martin (Abu Bakar Siraj Al-Din). 2002.
Muhammad. Jakarta: Serambi.
Tafsir Al-Quranul Karim